#KenapaBelumMenikah 02
Holaaaa!!!
Long time no post...
Apa kabar kalian? Semoga baik...
Dalam tulisan kali ini, gue masih akan membahas #KenapaBelumMenikah , dan kali ini akan lebih banyak subjective judgement dari gue sih ya... (subjective judgement or subjective statement? entahlah)
Gue gak akan memaksa kalian untuk setuju dengan tulisan ini, gue juga sama sekali gak bermaksud untuk mempengaruhi pikiran kalian dengan pemikiran gue. I just want to share what I want to share...
Hope you enjoy it :)
Setiap
orang memiliki ideologi yang berbeda-beda. Contoh sederhana saja ketika seorang
laki-laki mendefinisikan ‘perempuan cantik’. Tidak ada takaran cantik yang sama
oleh setiap orang. Bisa jadi seorang permpuan dipandang cantik oleh Si A, namun
biasa saja tidak menurut Si B karena Perempuan tersebut bukanlah cantik yang
diinginkan olehnya. Begitupun ketika perempuan menilai seorang ‘laki-laki
tampan’. Setiap penilaian seseorang terhadap sesuatu pastilah berbeda sesuai
dengan apa yang dia yakini mengenai hal tersebut. Begitu juga dengan menikah...
Bagi
sebagian orang, mungkin menikah perihal mencari pasangan yang mencintai dan
bersedia menerima apa adanya dirinya, bertahan bersamanya dalam keadaan apapun
hingga maut memisahkan. Sebagian orang yang lain menganggap menikah adalah
sebuah ibadah, dimana pasangan tersebut sama-sama memiliki tujuan untuk
membangun rumah tangga yang di berkati Tuhan-nya. Ada juga yang menganggap
menikah sebagai sebuah perjalanan, dengan perbekalan yang harus disiapkan
serapih dan sebaik mungkin, dimana setiap arah
langkahnya nanti harus benar-benar dipertimbangkan dengan matang untuk
mengantisipasi agar tidak tersesat, mengtisipasi halangan atau rintangan yang
mungkin datang di tengah perjalanan dan menyiapkan solusinya, untuk mencapai
titik yang mereka sebut dengan tujuan.
Seseorang
yang sudah memantapkan pilihannya untuk menikah, bisa jadi memang merasa bahwa
segala sesuatu yang dia perlukan untuk menikah sudah cukup. Calon yang memenuhi
kriteria pasangan ideal, usia dan kedewasaan yang cukup, kesiapan dalam
berkeluarga, harta atau materi sebagai bekal hidup di masa mendatang yang
cukup, pengetahuan dalam berumah tangga yang cukup, dan lain sebagainya. Lalu
bagaimana dengan orang yang belum menikah?
Orang
lain sering kali menilai bahwa seseorang yang sudah menyelesaikan studinya,
sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang cukup, usia 20-an dan
sebagainya, sudah siap untuk menikah. Mereka (bisa dikatakan) dengan mudahnya
melontarkan pertanyaan ‘kenapa belum menikah?’ Jika belum punya calon, ‘kenapa
tidak segera memantapkan hati menentukan pilihan?’ Jika sudah punya calon, ‘mau
menunggu apa lagi?’ Orang-orang seperti ini mungkin tidak menyadari bahwa
takaran ‘siap menikah’ bagi setiap orang berbeda beda.
Memilih
calon pasangan hidup bukan perkara mudah. Calon pasangan itu adalah orang yang
akan kita lihat setiap hari nantinya. Ketika akan tidur di malam hari, ketika
membuka mata di pagi hari. Menghabiskan sarapan, makan siang, dan makan malam
bersamanya. Menghabiskan sisa usia bersama, di dalam rumah yang sama. Sudah
siapkah untuk menerima semua kekurangan dan kelebihannya? Mampukah kita
menemukan solusi untuk bertahan dengannya ketika terjadi sebuah masalah?
Mampukah kita untuk tetap mencintainya bahkan ketika mungkin suatu hari nanti
kita kecewa dan tersakiti, sekali, dua kali, tiga kali, bahkan berkali-kali?
Mampukah kita bertahan dengannya bahkan disaat tersulitnya? Mampukah kita
menjadi orang yang pantas untuk dipertahankan bahkan di saat segala sesuatu
mungkin tidak bisa dipertahankan? Tidak ada satu orang pun yang mengharapkan
pernikahan dengan ujung percaraian.
Menikah
juga bukan hanya perihal dua manusia yang hidup bersama. Ketika seseorang
menikah denganmu, maka seluruh anggota keluarganya ikut bersamanya. Kita tidak
bisa hanya mencintai pasangan, kita juga harus mencintai orang tuanya seperti
mencintai orang tua sendiri. Kita harus menyayangi saudaranya seperti
menyayangi saudara sendiri. Kita harus menerima apapun kekurangan dan kelebihan
setiap anggota keluarganya seperti dia menerima seluruh anggota keluarganya.
Mampukah kita menyesuaikan diri dengan kebiasaan anggota keluarganya? Siapkah
kita bertahan untuk tetap bersama ketika mungkin ideologi kita tidak sesuai
dengan harapan keluarganya? Mampukah kita bertahan ketika mungkin kehadiran
kita tidak diterima dengan baik di keluarga besarnya bahkan setelah menikah?
Sudahkah
seorang laki-laki memahami tugas dan fungsinya sebagai kepala rumah tangga,
sebagai suami, sebagai ayah kelak? Sudah siap dan mampu kah seorang laki-laki
untuk bertanggung jawab terhadap keluarganya? Sudahkah seorang perempuan
memahami tugas dan fungsinya sebagai istri, sebagai ibu? Sudah siap dan mampu
kah seorang perempuan mengurus rumah
tangga dengan segala hal-hal yang berkaitan dengannya?
Setiap
pasangan yang menikah pasti berkeinginan untuk mendapatkan keturunan. Sangat
jarang pasangan yang menikah hanya untuk ‘hidup bersama’. Hampir semua pasangan
pasti ingin memiliki keluarga yang lengkap, memiliki anak-anak. Siapkah seorang
perempuan untuk memiliki keturunan? Mengandung selama 9 bulan, yang jika
dipikirkan mungkin terdengar singkat. Namun ketika dijalani bisa jadi terasa
berat. Siapkah seorang laki-laki mendampingi istrinya selama masa mengandung?
Memenuhi segala keinginannya yang kadang tidak masuk akal, mungkin? Siapkah
seorang perempuan mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan nyawa baru ke dunia?
Siapkah seorang laki-laki mendampingi istrinya selama masa persalinan?
Memberikan dukungan dan kekuatan untuk orang yang sedang mempertaruhkan nyawa
demi melahirkan seorang anak yang entah akan jadi apa dia di masa depan?
Setelah
memiliki keturunan, pasangan dihadapkan kembali pada permasalahan pendidikan.
Mampukah pasangan menjadi orang tua yang baik, yang bisa memberikan contoh yang
baik untuk anak-anaknya? Mampukah pasangan memberikan pendidikan yang layak
bagi anaknya? Bukan perihal sekolah yang bagus dan mahal, tapi pendidikan yang
tepat dan sesuai. Tidak hanya pendidikan di sekolah tapi juga di rumah, tidak
hanya pendidikan formal tapi juga nonformal, tidak hanya pendidikan budi
pekerti dan hidup bermasyarakat tapi juga pendidikan agama. Sudah mampukah?
Akan dididik dengan cara apa anak-anak kita nanti? Akan dididik dengan paham
apa anak-anak kita nanti? Sudahkah hal-hal semacam itu menjadi pertimbangan
sebelum menikah?
Dan
masih banyak lagi...
Beberapa
hal di atas mungkin terlihat sepele, namun pada kenyataannya penting untuk
dipikirkan dan dipertimbangkan sebelum menikah. Mungkin tidak akan berdampak
secara langsung saat awal menikah, tapi tidak menutup kemungkinan untuk terjadi
dimasa mendatang. Tidak semua orang mampu meyakinkan dirinya dengan hal-hal
tersebut. Ada yang membutuhkan waktu singkat, ada juga yang membutuhkan waktu
cukup lama. Ada orang yang memang siap untuk mengambil resiko-resiko tersebut
dimasa mendatang, ada juga yang masih merasa keberatan untuk mengambil resiko
tersebut. Kembali lagi pada hakikat bahwa setiap individu berbeda, mereka
memiliki keyakinannya masing-masing yang tidak dapat dipaksakan antara satu
dengan yang lainnya.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar